Minggu, 29 Juni 2014

MAHASISWA KINI PERLU BELAJAR “MERANGKAK DAN BERJALAN” KEMBALI


Mahasiswa adalah dua kata “maha” dan “siswa” yang dalam dunia ini hanya Tuhan penguasa seluruh alam dan mahasiswa itu sendiri yang mempunyai panggilan tersebut. Memang kalau melihat dari sejarah mahasiswa, nampaknya mahasiswa merupakan orang yang paling kuat di dunia ini, pasalnya sejak Indonesia bisa merdeka dan sampai saat ini tidak lepas dari peran mahasiswa. Peran mahasiswa pada saat itu (zaman penjajahan hingga runtuhnya orde baru/revormasi) cukup menjadi bukti nyata bahwa mahasiswa telah betul-betul mampu memahami siapa dirinya dan untuk apa dia ada. Kita pun mungkin masih ingat dalam dekde ini dengan adanya beberapa aktifis yang hilang dan meninggal saat berjuang menumbangkan rezim orde baru?, itu sebuah hal yang tidak dapat dipungkiri betapa besar kesadaran dan pengorbanan mahasiswa kala itu ketika dihadapkan dengan persoalan-persoalan sosial yang terus menggurita di bangsa ini.
Namun berbeda dengan realita sekarang, setelah reformasi meruntuhkan rezim sang diktator tahun 1997/1998, peran dan suara-suara mahasiswa yang menginginkan perubahan kian lama jauh dari pendengaran kaum-kaum tertindas yang haus akan perubahan, yang seharusnya itu dilakukan oleh mahasiswa dengan melihat kondisi bangsa ini yang semakin jauh dari cita-cita UUD 45. Keadilan dan kesejahteraan yang menjadi impian masyarakat saat ini seolah menjadi dongeng-dongeng pengantar tidur nyenyak mereka untuk meraih mimpi-mimpi indah berujud jadi kenyataan.
Kalau dengar kata mahasiswa tentu yang teringat dalam memori khususnya kaum akademisi adalah slogan-slogan romantis yang tersemat di pundak mahasiswa. Namun sayangnya slogan-slogan mahasiswa sebagai agen perubahan (agen of change), control social (social of control), kekuatan moral (moral force), cadangan potensial (iron stock) hanya menjadi ungkapan romantisme belaka. Tidak banyak mahasiswa yang mau dan mampu memaknai serta mengimplementasikan filosofi slogan-slogan romantis tersebut dalam kehidupan masyarakat sebenarnya. Jargon Tri Darma Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian, pengabdian) yang cukup luas pemaknaan dan cakupannya hanya dijadikan pita emas penghias  keindahan cermin perguruan tinggi. Mahasiswa saat ini lebih menikmati predikatnya dengan hal-hal yang pragmatis dan penuh kesenangan belaka. Ideologi mahasiswa saat ini sudah terhegemoni oleh lendir-lendir kaum kapitalis dan neolib yang digadang-gadang oleh kelompok-kelompok yang mengatasnamakan rakyat. Idealisme dan daya kritis mahasiswa saat ini terjangkiti virus-virus hedonisme dan pragmatisme, bahkan sifat apatis cukup mengakar di urat nadi kampus. Dengan adanya potret yang sedemikian memprihatinkan, dengan semakin tingginya tingkat apatisme dalam diri generasi muda maka tidak lain dan tidak bukan kehancuran akan semakin dekat. Yang jadi pertanyaan adalah apakah cukup tenaga apabila orang tua saat ini berjuang sendirian untuk membalikkan keadaan yang terus bergelombang saat ini?
Musim kemarau dan penghujan dalam demokrasi kehidupan bangsa ini telah mengajarkan kita bahwa masyarakat sangat sulit untuk tersenyum dalam keadaan yang serba sulit saat ini. Untuk itu siap ataupun masih bersiap bahkan tidak siap sama sekali, mahasiswa telah ditakdirkan untuk berjibaku dengan masalah dan tantangan hidup yang diwariskan oleh generasi sebelumnya.  Tantangan yang ada bukanlah pilihan, namun ini menjadi sebuah kewajiban bagi mereka yang mengerti akan arti sebuah perjuangan untuk terus memberikan yang terbaik bagi bangsa ini.

Di tengah kegaluan yang kian memuncak dan apatisme yang melonjak tajam, peran perguruan tinggi sangatlah diharapkan seperti yang tercermin dalam Tri Darma Perguruan Tinggi. Peran Perguruan Tinggi sangat dimungkinkan untuk memacu semangat mahasiswa dalam menjalankan perannya sebagai agen of change. Suntikan-suntikan motivasi tersebut sangat berbuah maksimal karena dibarengi dengan teori-teori dalam perkuliahan dan daya kritis yang telah diwariskan. Kalau perlu mahasiswa harus lahir kembali untuk belajar merangkak dan berjalan menapaki peran dan tanggungjawabnya sebagai mahasiswa. Tanpa seperti itu mereka jelas tidaklah puas hanya menenteng selembar kertas dengan tanda tangan sang Rektor. Sementara realita yang sebenarnya kelak saat mereka berjalan lebih jauh menyelami relung-relung kehidupan sebenarnya yang membutuhkan sentuhan dan kreasi mahasiswa yang dipenuhi daya kritis dan idealis untuk mewujudkan perubahan. (Mukhtar - Ketum PMII Kutim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar