Rabu, 04 Januari 2012

Islam dan Ahlussunnah Wal Jama’ah


Pengantar

Selama ini yang kita ketahui tentang Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah madzhab yang dalam aqidah mengikuti salah satu dari Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi, dalam ubudiyah (praktek peribadatan) mengikuti salah satu imam empat yaitu Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hambal dan dalam bertasawuf mengikuti salah satu dua imam yaitu Abu Qosyim Al-Junaidi Al-Baghdadi dan Abu Hamid Muhammad Al-Ghozali. Hal ini sebagaimana yang ditulis oleh Hadrathus Syekh KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri Ponpes Tebu Ireng, Jombang Jawa Timur) dalam qanun asasi dan di setiap muktamar NU senantiasa disampaikan oleh Rois Am sebagai sambutan pokok (Said Agiel Siradj, Mengebumikan Aswaja sebagai Manhaj Fikr dalam memahami Agama Islam).

Dalam doktrrin Nu, biasanya Aswaja dipahami dengan bertauhid mengikuti Imam Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, berfiqih dengan faham empat Imam Madzhab atau bertasawuf sesuai dengan Imam Junaidi dan Al-Ghozali. Lebih lanjut lagi Said Agiel Siradj memberikan definisi bahwa Aswaja adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleran. ( Said Agiel Siradj, Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta : LKPSM, 1997), hal. 20). Makna tersebut memuat arti adanya Tawazun, Ta’adul, dan Tasamuh. Hal-hal inilah yang biasanya berada dalam tataran konseptual.

Di Indonesia jika berbicara mengenai Aswaja (Ahlussunnah Wal-Jama’ah) hampir selalu kepada NU (Nahdlatul ‘Ulama). Dalam waktu bersamaan NU selalu dimasukkan ke dalam tradisionalis, namun di sisi lain modernitas telah lama menjadi wacana dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan kini lebih cepat satu langkah yakni dengan munculnya istilah postmodern (A. Qodri Azizy, Peluang dan tantangan Aswaja dalam prilaku manusia modern, Makalah seminar pergumulan Aswaja dengan masalah kebudayaan, Semarang 28 Agustus 1999).

Dalam sejarah pergumulan pemikiran Islam, Aswaja senantiasa menampilkan kultur moderat yang tidak eksklusif dan ekstrim. Berbeda dengan kultur Khawarij, Syi’ah, Murji’ah dan
sejumlah Manhaj pemikiran ke Islaman lain yang cenderung mengklaim dirinya sebagai ideologi alternatif yang sparatis bahkan radikal.

Aswaja sebagai Manhajul Fikr tentunya memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan misi Islam sebgai agama Rahmatan Lil ‘Alamin. Untuk menunjukkan hal tersebut Aswaja dijadikan sebagai landasan utama dalam beraktifitas sehari-hari, terutama dalam dunia intelektual dan kehidupan sosial. Setidaknya ada 2 (dua) tugas mulia Aswaja, yaitu :

a.   Aswaja sebagai pola fikir dan tingkah laku
Manhaj Al-Wasathiyah Al-Asy’ariyah sesungguhnya merupakan pendekatan teologis yang ideal dan selalu up tu date. Secara filosoofi, manusia tak mampu memperoleh kebenaran mutlak tanpa mendasarkan pemikiran kepada wahyu. Apa yang diperoleh kaum intelektual disebut sebagai obyektif, setelah diteliti secara sesama, ternyata sangat subyektif. Hal ini dikarenakan karakteristik pengetahuan manusia menghendaki kesesuaian (teori korespondensi) antara persepsi dengan realitas, dan realitas itu sendiri merupakan rekayasa akal. Maka seluruh pengetahuan manusia adalah subyektif. Obyektifitas dapat dicapai tatkala obyek pengetahuan berbicara tentang dirinya sendiri.

b.  Aswaja sebagai paradigma intelektual
Tiga mainstream dalam tradisi aswaja pada dasarnya mempresentasikan tiga potensi intelektual manusia. Ketiga potensi tersebut adalah potensi Rasional, Indrawi, dan Intuisi. Atau dapat pula mewakili tiga model aliran pemikiran yaitu rasionalisme, empirisme, dan spiritualisme. Aliran-aliran tersebut menunjukkan adanya penekanan bahwa prinsip keterbukaan berfikir dan fleksibelitas berperilaku menghendaki adanya sikap keterbukaan pula terhadap berbagai aliran pemikiran.

Dalam beberapa dekade terakhir, wacana Intelektual Aswaja memperlihatkan suatu perkembangan yang cukup signifikan. Seperti munculnya kritikan al-Ghozali yang dituduh sebagai penyebab mundurnya semangat intelektual Islam, maka saat itulah muncul wacana baru yang lazimnya disebut dengan neo Aswaja yang dimotori oleh Syekh Musthofa  Abd ar-Raziq. Kemudian disusul muridnya Syekh Abdul Halim Mahmud yang tampil dengan semangat intelektual baru dengan tetap mengacu pada garis pemikiran Al-Ghazali, namun penekanannya lebih menitikberatkan pada aspek metodologis ketimbang produk pemikiran.

Aspek metodologis inilah yang menjadi simbol kemenangan dan keunggulan Aswaja. Dengan hal ini, diharapkan mampu mengantarkan umat manusia pada perkembangan dan kemajuan IPTEK yang mengarahkan pada kecenderungan intelektual kepada sciencific thingking. Seorang muslim dapat menghayati makna ke-Esaan Tuhan dalam temuan-temuan ilmiyah di laboratorium. Misalnya uraian Dr. Musthofa Mahmud di Mesir tentang struktur sel-sel dalam setiap makhluk hidup sangat memukau secara aspek metodologis bila dibandingkan dengan sistem argumentasi yang diberikan oleh tokoh sebelum masanya. Sehingga dapat pula dimaknai bahwa adanya dikhotomi ilmu agama, sudah saatnya dihapuskan dan dipadukan secara integrated melalui internalisasi ilmu-ilmu Islam dan aktualisasi ajaran-ajaran tauhid dalam kehidupan di era ilmu pengetahuan dan tekhnologi. (Dr. Nursamad Kamba, Tantangan dan peluang Aswaja dalam Prilaku Manusia Modern, Makalah Seminar Pergumulan Aswaja dengan Masalah Kebudayaan, Semarang, 28 Agustus 1999). Semoga bermanfaat, Wallahul Muwafiq Ilaa Aqwamith Thorieq.
  
(Materi disampaikan pada Mapaba II di Batu Besaung Tanggal 22 Agustus 2007 oleh Sugianto, S.Pd.I
Ketua Komisariat PMII STAIN Samarinda periode 2003-2004 dan Sekretaris Umum Pengurus Koordinator Cabang PMII Kalimantan Timur periode 2006-2008).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar