Titik Sejarah Gerakan
Sore itu tanggal
13 Mei 2013 pukul 15.00 wita, ada pertemuan organisasi dari berbagai elemen
organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan yang diinisiasi oleh PMII, seperti HMI,
GMNI, BEM STIPER, BEM STAIS, PEKUTIM, dan PENA serta berbagai tokoh masyarakat Kutim
untuk membicarakan persoalan di Kutai Timur. bertempat di Sekretariat PMII di
Jl Cendana no 3 Sangatta Utara Kutai Timur, Pertemuan tersebut dimaksudkan
untuk lebih khusus membahas persoalan banjir yang sering terjadi di Sangatta
dan Kutai Timur pada umumnya. Setelah
beberapa lama dialog dengan cukup alot, akhirnya dari berbagai sudut pandang
dari masing-masing organisasi dapat disimpulkan bahwa banjir yang terjadi ini merupakan bagian
dari gunung es permasalahan yang ada di Kutai Timur, sebuah
permasalahan yang diakibatkan oleh berbagai faktor mulai dari pembangunan
hingga faktor alam. Berbagai
pendapat dan argumentasi dilontarkan mengenai penyebab banjir, antara lain
karena dampak dari pertambangan, minimnya drainase, pendangkalan sungai, penggundulan hutan,
faktor alam dan sebagainya. Dari pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan
untuk melayangkan surat permohonan hearing dengan DPRD beserta SKPD-SKPD terkait untuk
bersama-sama mendialogkan permasalahan banjir.
Ternyata niat
baik gabungan organisasi tersebut untuk melakukan dialog kelihatannya tidak
mendapatkan respons yang cukup positif, Ketua DPRD kelihatannya tidak
menanggapi permohonan dengan serius bahkan terkesan menyepelekan, akhirnya gabungan
organisasi tersebut melakukan rapat kembali yang ke tiga kali di sekretariat
PMII untuk membicarakan tindakan selanjutnya, yang akhirnya muncullah ide
gerakan untuk menyampaikan aspirasi di depan kantor Bupati.
Untuk
mengkaji dan mematangkan ide/konsep, gabungan dari berbagai elemen organisasi tersebut
melanjutkan
rapat kembali di malam hari bertempat di STIPER. Sekitar 20 orang hadir dalam
rapat tersebut dan dari berbagai dialog muncullah ide yang sangat mengikat
emosianal gerakan dengan memberikan nama gerakan “SOE-HATTA”.
Gerakan Soe-Hatta
dinamakan karena dibentuk di Jl Soekarno Hatta dan membawa misi-misi seperti
yang diperjuangkan oleh Soekarno-Hatta yaitu misi social kemasyarakatan yang
adil dan sejahtera. Dalam diskusi
yang cukup lama akhirnya
gerakan SOEHATTA menyepakati ada beberapa tuntutan, antara lain: 1).
Mempertanyakan AMDAL dalam setiap pembangunan, 2). Menyelesaikan persoalan
sengketa lahan yang belum urung selesai, 3). Melanjutkan pembangunan di dua
kecamatan yang masuk dalam kawasan TNK, 4). Melakukan normalisasi drainase dan
sungai Sangatta. 5) melanjutkan dan mempercepat pembangunan Jl Yos Sudarso.
Hal itu menjadi tuntutan karena dirasa menjadi bagian dari penyebab banjir yang
sering terjadi di Sangatta dan sekitarnya.
Setelah disepakati dan ditunjuk
penanggungjawab, mulai dari korlap, negosiator, dan humas, akhirnya pada hari
kamis tanggal 16 Mei 2013 Gerakan Soehatta menyampaikan aspirasi dengan sekitar
100 orang massa aksi untuk menyuarakan perubahan.
Pengkebiran Gerakan Soe-Hatta
Sebuah sejarah
baru dan baru pertama kali ada gerakan dari aliansi berbagai organisasi
kepemudaan dan kemahasiswaan bergabung menjadi satu untuk menyuarakan perubahan
ternyata mengundang perhatian dari berbagai pihak, baik masyarakat biasa,
akademisi maupun pejabat pemerintahan. Tidak disangka-sangka setelah aksi pada
tanggal 16 Mei 2013 ternyata muncul reaksi yang sangat berlebihan dari Pemerintah
Kutai Timur dan koleganya karena aksi tersebut dirasa tidak konstruktif
melainkan profokatif. Kepala Pemerintahan dan jajarannya kemudian mengundang
civitas akademik STAIS dan STIPER dengan tiba-tiba untuk melakukan dialog dan silaturahmi
menyikapi aksi gerakan mahasiswa (SoeHatta) tersebut. Tentu hal ini mengundang
pertanyaan banyak pihak, kenapa Kepala Daerah mengagendakan kegiatan yang
bertepatan dengan agenda dialog yang difasilitasi oleh DPRD dengan gabungan
organisasi kepemudaan dan mahasiswa, dalam hal itu juga mengundang Bupati
beserta SKPD-SKPD terkait, yang nyata-nyata surat undangan telah beredar
beberapa hari sebelumnya.
Ternyata sebuah
pertanyaan itu terjawab dengan sendirinya pasca adanya dialog yang dilakukan
oleh pemerintah daerah beserta civitas akademik STAIS dan STIPER. Dalam
dialognya, Kepala Daerah terkesan memberi tekanan kepada civitas akademik agar
mahasiswanya tidak melakukan gerakan-gerakan yang dianggapnya telah menodai
pendidikan dan kemurnian perjuangan. Bukan langkah solutif yang diambil oleh Kepala
Daerah, melainkan langkah profokatif yang dilakukan untuk memberikan kesan
bahwa Bupati dan jajarannya telah benar-benar melakukan pembangunan dengan
maksimal, sementara mahasiswa telah melakukan kesalahan dengan dalih aksi yang
anarkis dan penuh muatan politis. Bukan langkah edukatif yang diambil oleh
Kepala Daerah melainkan langkah egois karena memunculkan sifat arogan yang
tidak semestinya dilakukan oleh seorang kepala daerah untuk membatasi
kreativitas dan daya kritis mahasiswa. Akhirnya muncullah sebuah cerita dalam perfilman ataupun drama pewayangan episode
ke dua gaya kepemimpinan masa orde baru.
Kepala Daerah dan
jajarannya menilai gerakan soehatta (mahasiswa) sudah tidak lagi murni
melainkan ada tunggangan dari pihak-pihak lain yang tidak bertanggungjawab, mereka
menilai gerakan soehatta bertindak
anarkis dan penuh hujatan dan muatan politis dalam menyampaikan aspirasi. Tidak
salah memang ketika seorang Kepala Daerah dan jajarannya melakukan tindakan
demi meredam gerakan ini, namun caranya yang terlihat tidak cerdas dalam
menyikapi persoalan tersebut, malah yang terjadi kepala daerah seolah arogan
dan memunculkan bibit-bibit baru kepemimpinan masa orde baru. Dengan dalih tersebut kepala
daerah meminta agar Petinggi STAIS dan STIPER melakukan
teguran bahkan skorsing kepada para mahasiswa yang telah melakukan demonstrasi.
Apakah ini sebuah tindakan yang edukatif?, apakah ini sebuah tindakan yang solutif?,
dan apakah ini sebuah tindakan yang layak dilakukan oleh
seorang
pemimpin?,
tentu pertanyaan ini menjadi pertanyaan-pertanyaan yang menimbulkan banyak
pertanyaan.
Sebagai
saksi sejarah dalam aksi tersebut, penulis tidak melihat ada anarkisme yang
dilakukan oleh demonstran, melainkan aparat yang telah melakukan kekerasan
kepada beberapa orang aktifis, ada dua orang aktifis yang dihujani kepalan tangan berkali-kali dan tendangan dengan
sepatu jatah dari hasil pajak masyarakat. Dan yang sangat menyedihkan
sampai-sampai ada aktifis yang harus mendapatkan nafas bantuan akibat pukulan dan tendangan oleh aparat keamanan,
sementara kalau mahasiswa dinilai anarkis, tidak ada sama sekali bukti,
misalnya adanya fasilitas publik yang dirusak, sang demonstran yang melakukan
pemukulan. Secara fair sebenarnya siapakah yang anarkis, aktifis
ataukah aparat yang dengan entengnya melayangkan pukulan dan tendangan kepada
para demonstran.
Memang
sebuah hal yang wajar dan tidak asing lagi ketika ingin memperjuangkan hak-hak rakyat,
memperjuangkan adanya perubahan pasti akan mendapatkan hambatan dan tantangan
dari orang-orang yang merasa terusik dalam singga
sana jabatan yang nyaman dan penuh kenikmatan. Banyak cerita-cerita sejarah yang menjadi contoh bahwa di
setiap gerakan pasti ada hambatan dan pengkebiran, contoh saja misalnya
Soekarno, Moh Hatta, Sutan Syahrir, Tan Malaka pada saat penjajahan mereka
selalu diasingkan dan dipenjarakan karena berkat
perjuangannya sangat membahayakan
kepentingan kelompok. Pada zaman orde baru misalnya, berapa banyak aktifis yang hilang tanpa jejak serta
dipenjarakan seperti Budiman Sujat Miko, Sri Bintang Pamungkas, mahasiswa tri
sakti yang ditembak mati dan sampai saat ini
belum terungkap kasusnya sampai Mukhtar
Papahan yang memperjuangkan hak-hak buruh harus dipenjarakan berkali-kali
dengan dalih melanggar Undang-Undang.
Bukan sebuah cerita yang fiktif
atau drama belaka jika hal itu terjadi di
Kutai Timur,
namun dengan nuansa cerita/sandiwara yang berbeda tapi subtansinya sama yakni pengkebiran gerakan mahasiswa.
Berkali-kali media cetak lokal memberitakan gerakan mahasiswa Kutai Timur penuh
ketimpangan dan tidak memberikan kritik yang solutif, melainkan gerakan yang
ditunggangi kepentingan politik. Dengan sesumbar pemerintah menekan mahasiswa
melalui petinggi-petinggi kampus dan mengusut orang-orang yang katanya
mencemarkan nama baik nya untuk diproses melalui jalur hukum. Di sinilah
kemudian yang menimbulkan dilema dan kegalauan bagi seluruh civitas akademik,
disatu sisi mahasiswa dituntut untuk kritis dan idealis seperti yang diajarkan
di bangku kuliah, tapi di sisi lain mahasiswa malah ditekan untuk diam membisu
menonton ketidak adilan dan ketimpangan yang terjadi di masyarakat. Petinggi
akademik pun tidak bisa berbuat apa-apa, khususnya STIPER dan STAIS ketika
dihadapkan persoalan tersebut karena hidup dan matinya proses pendidikan di dua
lembaga tersebut berharap dari ketiak pemerintah daerah Kutai Timur, yang
akhirnya menuntut mereka untuk menentukan
pilihan yang sangat merugikan mahasiswa. Selain terkena dampak psikologis,
mahasiswa juga semakin bingung untuk melihat dan mengimplementasikan peran dan
tanggung jawab besar yang diamanahkan ke pundaknya sebagai seorang “MAHA”
siswa. Harapan besar masyarakat kepada sang “MAHA” siswa akan perubahan pun semakin absurd
bisa terwujud, lantas kepada siapakah masyarakat berharap adanya perubahan
selain kepada sang agen perubahan yang identik dengan nalar kritis dan idealis?
Sang “Maha” siswa Menjadi Tumpuan
Perubahan
Pertanyaan
tersebut di atas tentu tidak akan pernah bisa terjawab sampai bumi dan isinya
luluh lantah seandainya sang “MAHA” siswa hanya mampu duduk diam termangu menghentikan
langkah ketika dihadapkan dengan kondisi seperti itu. Memang bukanlah hal yang
mudah bagi aktifis-aktifis kampus untuk
bangkit dan terus melakukan gerakan demi mengawal pembangunan. Di satu
sisi dia harus melawan perang psikologis yang datang menghadangnya, di sisi
lain dia harus berjuang berat menyadarkan “MAHA” siswa yang apatis dengan
kondisi sosial yang menghiasi buruknya pemandangan kehidupan. Harusnya ini menjadi
PR bersama sebagai seorang yang mengaku “MAHA” siswa, yang harus mengamalkan
Tri Darma Perguruan Tinggi.
Sebuah pepatah
mengatakan semakin tinggi pohon maka akan semakin besar pula resiko tertiup
angin, semakin tinggi iman seseorang, maka semakin berat pula ujian yang
dihadapi, semakin besar kekuatan maka tidak menutup kemungkinan semakin besar
pula hambatan dan tantangan yang harus dihadapi, dan itulah yang terjadi saat
ini dengan gerakan “SOEHATTA” di Kutai Timur. Sebuah kondisi yang
memprihatinkan ketika ada segelintir mahasiswa yang berani menyuarakan suara
rakyat malah dikebiri dengan cara di kambing hitamkan, sementara sebagian besar
mahasiswa yang apatis duduk diam sambil menertawakan ulah mahasiswa yang sedang
berjuang untuk memberikan perubahan demi cita-cita bangsa Indonesia , Indonesia
yang yang adil, makmur dan sejahtera.
Untuk
sahabat-sahabtaku, sebagai seorang aktifis, janganlah kita layu dan mati hanya
karena tekanan kepentingan kelompok, marilah kita bangkit menyatukan gerakan,
menyatukan tekad, menyatukan tujuan untuk memperjuangkan hak-hak rakyat. Yakinlah
Sahabat-sahabtku, dengan kebersamaan, dengan keteguhan, dan dengan kemurnian
hati kita akan mendapatkan kemenangan, kemenangan yang tidak dapat diukur
dengan kemewahan, melainkan hanya dapat diukur dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Teruslah
berjuang sahabatku..! Sekali bendera dikibarkan, hentikan ratapan dan tangisan,
mundur satu langkah adalah sebuh bentuk pengkhianatan, tangan terkepal dan maju
ke muka..!!!
Salam
pergerakan..!!!
Mukhtar
(seorang
sahabat yang tidak bisa menjadi sahabat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar