Sebelum kelompok-kelompok teologis
dalam Islam lahir, Ahlussunnah Wal Jamaah (selanjutnya disebut Aswaja) adalah
umat Islam itu sendiri. Namun setelah kelompok-kelompok teologis muncul, Aswaja
berarti para pengikut Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi.
Dalam
pengertian terakhir ini, Aswaja sepadan dengan kelompok-kelompok teologis
semisal Mu’tazilah, Syiah, Khawarij dan lain-lain.
Dalam
sejarahnya, kemunculan kelompok-kelompok ini dipicu oleh masalah politik
tentang siapakah yang berhak menjadi pemimpin umat Islam (khalifah) setelah
kewafatan Rasulullah, Muhammad SAW. Setelah perdebatan antara kelompok sahabat
Muhajirin dan Anshor dituntaskan dengan kesepakatan memilih Abu Bakar sebagai
khalifah pertama, kesatuan pemahaman keagamaan umat Islam bisa dijaga. Namun
menyusul huru-hara politik yang mengakibatkan wafatnya khalifah ketiga, Utsman
Bin Affan, yang disusul dengan perang antara pengikut Ali dan Muawiyah, umat
Islam terpecah menjadi kelompok-kelompok Syiah, Khawarij, Ahlussunnah dan
–disusul belakangan, terutama ketika perdebatan menjadi semakin teologis
oleh—Mu’tazilah dan lain-lain.
Aswaja
melihat bahwa pemimpin tertinggi umat Islam ditentukan secara musyawarah, bukan
turun-temurun pada keturuan Rasulullah SAW sebagaimana pandangan Syiah. Aswaja
memandang keseimbangan fungsi nalar dan wahyu, tidak memposisikan wahyu di atas
nalar sebagaimana pandangan Mu’tazilah. Aswaja melihat manusia memiliki
kekuasaan terbatas (kasb) dalam menentukan
perbuatan-perbuatannya, bukan semata disetir oleh kekuatan absolut di luar
dirinya (sebagaimana pandangan Jabariyah) atau bebas absolut menentukan
perbuatannya (sebagaimana pandangan Qadariyah dan Mu’tazilah).
Pada
wilayah penggalian hukum fiqh, Aswaja (sebagaimana diwakili oleh Imam yang
empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) bersepakat menggunakan empat sumber
hukum: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas; dan tidak bersepakatan dalam
menggunakan sumber-sumber yang lain semisal: istihsan, maslahah mursalah, amal
ahl al madinah dan lain-lain.
Setelah
melalui evolusi sejarah panjang, Aswaja sekarang ini menjadi mayoritas umat
Islam yang tersebar mulai dari Jakarta (Indonesia) hingga Casablanca (Maroko),
disusul oleh Syi’ah di Iran, Bahrain, Lebanon Selatan; dan sedikit Zaidiyah
(pecahan Mu’tazilah) di sejumlah tempat di Yaman. Dengan mengacu pada ajaran
Muhammad Bin Abdulwahhab, rezim Saudi Arabia berafiliasi kepada apa yang
disebut Wahabi. Sementara di Asia Selatan (Afganistan dan sekitarnya)
reinkarnasi Khawarij menemukan tanah pijaknya dengan sikap-sikap keras dalam
mempertahankan dan menyebarkan keyakinan.
Di
Indonesia, Aswaja kurang lebih sama dengan nahdliyin (sebutan untuk jamaah
Nahdlatul Ulama), meskipun jamaah Muhammadiyah adalah juga Aswaja dengan
sedikit perbedaan pada praktik hukum-hukum fiqh. Artinya, arus besar umat Islam
di Indonesia adalah Aswaja.
Yang
paling penting ditekankan dalam internalisasi ajaran Aswaja di Indonesia adalah
sikap keberagamaan yang toleran (tasamuh),
seimbang (tawazun), moderat (tawassuth) dan konsisten pada sikap adil (i’tidal). Ciri khas sikap beragama macam inilah yang
menjadi kekayaan arus besar umat Islam Indonesia yang menjamin kesinambungan
hidup Indonesia sebagai bangsa yang plural dengan agama, suku dan kebudayaan
yang berbeda-beda.
Ada
dua kekuatan besar yang menjadi tantangan Aswaja di Indonesia sekarang ini dan
di masa depan: kekuatan liberal di satu pihak dan kekuatan Islam politik garis
keras di pihak yang lain. Kekuatan liberal lahir dari sejarah panjang
pemberontakan masyarakat Eropa (dan kemudian pindah Amerika) terhadap
lembaga-lembaga agama sejak masa pencerahan (renaissance) yang dimulai pada
abad ke-16 masehi; satu pemberontakan yang melahirkan bangunan filsafat
pemikiran yang bermusuhan dengan ajaran (dan terutama lembaga) agama; satu
bangunan pemikiran yang melahirkan modernitas; satu struktur masyarakat kapital
yang dengan globalisasi menjadi seolah banjir bandang yang siap menyapu
masyarakat di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia.
Sebagai
reaksinya, sejak era perang dingin berakhir dengan keruntuhan Uni Soviet, Islam
diposisikan sebagai “musuh” terutama oleh kekuatan superpower: Amerika Serikat
dan sekutunya. Tentu saja bukan umat Islam secara umum, namun sekelompok kecil
umat Islam yang menganut garis keras dan secara membabi-buta memusuhi non
muslim. Peristiwa penyerangan gedung kembar pusat perdagangan di New York,
Amerika, 11 September 2001, menjadikan dua kekuatan ini behadap-hadapan secara
keras. Akibatnya, apa yang disebut ‘perang terhadap terorisme’ dilancarkan
Amerika dan sekutunya dimana-mana di muka bumi ini.
Yang
patut digaris bawahi: dua kekuatan ini, yang liberal dan yang Islam politik
garis keras, bersifat transnasional, lintas negara. Kedua-duanya menjadi
ancaman serius bagi kesinambungan praktik keagamaan Aswaja di Indonesia yang
moderat, toleran, seimbang dan adil itu.
Gempuran
kekuatan liberal menghantam sendi-sendi pertahanan nilai yang ditanamkan Aswaja
selama berabad-abad dari aspeknya yang sapu bersih dan meniscayakan nilai-nilai
kebebasan dalam hal apapun dengan manusia (perangkat nalarnya) sebagai pusat,
dengan tanpa perlu bimbingan wahyu. Gempuran Islam politik garis keras
menghilangkan watak dasar Islam (Aswaja lebih khusus lagi) yang ramah dan
menyebar rahmat bagi seluruh alam semesta.
Dua ancaman riil inilah yang mengharuskan Aswaja di Indonesia untuk mengkonsolidasi diri, merapatkan barisan, memvitalkan kembali modal nilai-nilai luhur yang diturunkan dari ajarannya dan pengalaman sejarahnya. Karena sifat dua tantangan ini yang mondial, maka reaksinya pun harus mondial.
Dua ancaman riil inilah yang mengharuskan Aswaja di Indonesia untuk mengkonsolidasi diri, merapatkan barisan, memvitalkan kembali modal nilai-nilai luhur yang diturunkan dari ajarannya dan pengalaman sejarahnya. Karena sifat dua tantangan ini yang mondial, maka reaksinya pun harus mondial.
Sejauh
ini, ikhtiar itu ada. Nahdlatul Ulama melalui forum ICIS (International
Conference of Islamic Scholars) sudah tiga kali menggelar pertemuan para
ulama-intelektual dunia Islam di Jakarta untuk tujuan dimaksud: tujuan luhur
mengembalikan Islam sebagai rahmat bagi semua.
Ke
dalam, penggairahan masjid sebagai pusat peradaban dan institusi perawatan
nilai-nilai juga disadari semakin penting dilakukan. Manakala masjid berfungsi
merawat Aswaja, maka serbuan dua ancaman tadi bisa dilawan pengaruhnya.
Tentu
saja, penyikapan yang komprehensif harus diupayakan secara menerus. Nilai
dilawan nilai. Instrumen dilawan instrumen. Sudah saatnya, pada tingkat
instrumen, organisasi penyangga Aswaja di Indonesia memiliki misalnya, stasiun
televisi, production house untuk membuat film berbasis nilai-nilai Aswaja,
perusahaan penjaga kemandirian ekonomi umat dan segala institusi baru lainnya
agar penyikapan komprehensif dan efektif bisa dilakukan secara maksimal.
Sebelum kelompok-kelompok teologis dalam Islam
lahir, Ahlussunnah Wal Jamaah (selanjutnya disebut Aswaja) adalah umat Islam
itu sendiri. Namun setelah kelompok-
kelompok teologis muncul, Aswaja berarti para
pengikut Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi.
Dalam pengertian terakhir ini, Aswaja sepadan
dengan kelompok-kelompok teologis semisal Mu’tazilah, Syiah, Khawarij dan
lain-lain.
Dalam sejarahnya, kemunculan kelompok-kelompok
ini dipicu oleh masalah politik tentang siapakah yang berhak menjadi pemimpin
umat Islam (khalifah) setelah kewafatan Rasulullah, Muhammad SAW. Setelah
perdebatan antara kelompok sahabat Muhajirin dan Anshor dituntaskan dengan
kesepakatan memilih Abu Bakar sebagai khalifah pertama, kesatuan pemahaman
keagamaan umat Islam bisa dijaga. Namun menyusul huru-hara politik yang
mengakibatkan wafatnya khalifah ketiga, Utsman Bin Affan, yang disusul dengan
perang antara pengikut Ali dan Muawiyah, umat Islam terpecah menjadi
kelompok-kelompok Syiah, Khawarij, Ahlussunnah dan –disusul belakangan,
terutama ketika perdebatan menjadi semakin teologis oleh—Mu’tazilah dan
lain-lain.
Aswaja melihat bahwa pemimpin tertinggi umat Islam ditentukan secara musyawarah, bukan turun-temurun pada keturuan Rasulullah SAW sebagaimana pandangan Syiah. Aswaja memandang keseimbangan fungsi nalar dan wahyu, tidak memposisikan wahyu di atas nalar sebagaimana pandangan Mu’tazilah. Aswaja melihat manusia memiliki kekuasaan terbatas (kasb) dalam menentukan perbuatan-perbuatannya, bukan semata disetir oleh kekuatan absolut di luar dirinya (sebagaimana pandangan Jabariyah) atau bebas absolut menentukan perbuatannya (sebagaimana pandangan Qadariyah dan Mu’tazilah).
Pada wilayah penggalian hukum fiqh, Aswaja (sebagaimana diwakili oleh Imam yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) bersepakat menggunakan empat sumber hukum: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas; dan tidak bersepakatan dalam menggunakan sumber-sumber yang lain semisal: istihsan, maslahah mursalah, amal ahl al madinah dan lain-lain.
Aswaja melihat bahwa pemimpin tertinggi umat Islam ditentukan secara musyawarah, bukan turun-temurun pada keturuan Rasulullah SAW sebagaimana pandangan Syiah. Aswaja memandang keseimbangan fungsi nalar dan wahyu, tidak memposisikan wahyu di atas nalar sebagaimana pandangan Mu’tazilah. Aswaja melihat manusia memiliki kekuasaan terbatas (kasb) dalam menentukan perbuatan-perbuatannya, bukan semata disetir oleh kekuatan absolut di luar dirinya (sebagaimana pandangan Jabariyah) atau bebas absolut menentukan perbuatannya (sebagaimana pandangan Qadariyah dan Mu’tazilah).
Pada wilayah penggalian hukum fiqh, Aswaja (sebagaimana diwakili oleh Imam yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) bersepakat menggunakan empat sumber hukum: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas; dan tidak bersepakatan dalam menggunakan sumber-sumber yang lain semisal: istihsan, maslahah mursalah, amal ahl al madinah dan lain-lain.
Setelah melalui evolusi sejarah panjang, Aswaja
sekarang ini menjadi mayoritas umat Islam yang tersebar mulai dari Jakarta
(Indonesia) hingga Casablanca (Maroko), disusul oleh Syi’ah di Iran, Bahrain,
Lebanon Selatan; dan sedikit Zaidiyah (pecahan Mu’tazilah) di sejumlah tempat
di Yaman. Dengan mengacu pada ajaran Muhammad Bin Abdulwahhab, rezim Saudi
Arabia berafiliasi kepada apa yang disebut Wahabi. Sementara di Asia Selatan
(Afganistan dan sekitarnya) reinkarnasi Khawarij menemukan tanah pijaknya
dengan sikap-sikap keras dalam mempertahankan dan menyebarkan keyakinan.
Di Indonesia, Aswaja kurang lebih sama dengan
nahdliyin (sebutan untuk jamaah Nahdlatul Ulama), meskipun jamaah Muhammadiyah
adalah juga Aswaja dengan sedikit perbedaan pada praktik hukum-hukum fiqh.
Artinya, arus besar umat Islam di Indonesia adalah Aswaja.
Yang paling penting ditekankan dalam
internalisasi ajaran Aswaja di Indonesia adalah sikap keberagamaan yang toleran
(tasamuh), seimbang (tawazun), moderat (tawassuth)
dan konsisten pada sikap adil (i’tidal). Ciri khas sikap beragama
macam inilah yang menjadi kekayaan arus besar umat Islam Indonesia yang
menjamin kesinambungan hidup Indonesia sebagai bangsa yang plural dengan agama,
suku dan kebudayaan yang berbeda-beda.
Ada dua kekuatan besar yang menjadi tantangan
Aswaja di Indonesia sekarang ini dan di masa depan: kekuatan liberal di satu
pihak dan kekuatan Islam politik garis keras di pihak yang lain. Kekuatan
liberal lahir dari sejarah panjang pemberontakan masyarakat Eropa (dan kemudian
pindah Amerika) terhadap lembaga-lembaga agama sejak masa pencerahan
(renaissance) yang dimulai pada abad ke-16 masehi; satu pemberontakan yang
melahirkan bangunan filsafat pemikiran yang bermusuhan dengan ajaran (dan
terutama lembaga) agama; satu bangunan pemikiran yang melahirkan modernitas;
satu struktur masyarakat kapital yang dengan globalisasi menjadi seolah banjir
bandang yang siap menyapu masyarakat di negara-negara berkembang, termasuk di
Indonesia.
Sebagai reaksinya, sejak era perang dingin berakhir dengan keruntuhan Uni Soviet, Islam diposisikan sebagai “musuh” terutama oleh kekuatan superpower: Amerika Serikat dan sekutunya. Tentu saja bukan umat Islam secara umum, namun sekelompok kecil umat Islam yang menganut garis keras dan secara membabi-buta memusuhi non muslim. Peristiwa penyerangan gedung kembar pusat perdagangan di New York, Amerika, 11 September 2001, menjadikan dua kekuatan ini behadap-hadapan secara keras. Akibatnya, apa yang disebut ‘perang terhadap terorisme’ dilancarkan Amerika dan sekutunya dimana-mana di muka bumi ini.
Sebagai reaksinya, sejak era perang dingin berakhir dengan keruntuhan Uni Soviet, Islam diposisikan sebagai “musuh” terutama oleh kekuatan superpower: Amerika Serikat dan sekutunya. Tentu saja bukan umat Islam secara umum, namun sekelompok kecil umat Islam yang menganut garis keras dan secara membabi-buta memusuhi non muslim. Peristiwa penyerangan gedung kembar pusat perdagangan di New York, Amerika, 11 September 2001, menjadikan dua kekuatan ini behadap-hadapan secara keras. Akibatnya, apa yang disebut ‘perang terhadap terorisme’ dilancarkan Amerika dan sekutunya dimana-mana di muka bumi ini.
Yang patut digaris bawahi: dua kekuatan ini, yang
liberal dan yang Islam politik garis keras, bersifat transnasional, lintas
negara. Kedua-duanya menjadi ancaman serius bagi kesinambungan praktik
keagamaan Aswaja di Indonesia yang moderat, toleran, seimbang dan adil itu.
Gempuran kekuatan liberal menghantam sendi-sendi
pertahanan nilai yang ditanamkan Aswaja selama berabad-abad dari aspeknya yang
sapu bersih dan meniscayakan nilai-nilai kebebasan dalam hal apapun dengan
manusia (perangkat nalarnya) sebagai pusat, dengan tanpa perlu bimbingan wahyu.
Gempuran Islam politik garis keras menghilangkan watak dasar Islam (Aswaja
lebih khusus lagi) yang ramah dan menyebar rahmat bagi seluruh alam semesta.
Dua ancaman riil inilah yang mengharuskan Aswaja
di Indonesia untuk mengkonsolidasi diri, merapatkan barisan, memvitalkan
kembali modal nilai-nilai luhur yang diturunkan dari ajarannya dan pengalaman
sejarahnya. Karena sifat dua tantangan ini yang mondial, maka reaksinya pun
harus mondial.
Sejauh ini, ikhtiar itu ada. Nahdlatul Ulama
melalui forum ICIS (International Conference of Islamic Scholars) sudah tiga
kali menggelar pertemuan para ulama-intelektual dunia Islam di Jakarta untuk
tujuan dimaksud: tujuan luhur mengembalikan Islam sebagai rahmat bagi semua.
Ke dalam, penggairahan masjid sebagai pusat
peradaban dan institusi perawatan nilai-nilai juga disadari semakin penting
dilakukan. Manakala masjid berfungsi merawat Aswaja, maka serbuan dua ancaman
tadi bisa dilawan pengaruhnya.
Tentu saja, penyikapan yang komprehensif harus
diupayakan secara menerus. Nilai dilawan nilai. Instrumen dilawan instrumen.
Sudah saatnya, pada tingkat instrumen, organisasi penyangga Aswaja di Indonesia
memiliki misalnya, stasiun televisi, production house untuk membuat film
berbasis nilai-nilai Aswaja, perusahaan penjaga kemandirian ekonomi umat dan
segala institusi baru lainnya agar penyikapan komprehensif dan efektif bisa
dilakukan secara maksimal.
Aswaja dan
tantangan masa kini dan masa depan
Sebelum kelompok-kelompok
teologis dalam Islam lahir, Ahlussunnah Wal Jamaah (selanjutnya disebut Aswaja)
adalah umat Islam itu sendiri. Namun setelah kelompok-kelompok teologis muncul,
Aswaja berarti para pengikut Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi.
Dalam pengertian terakhir ini, Aswaja sepadan dengan kelompok-kelompok teologis semisal Mu’tazilah, Syiah, Khawarij dan lain-lain.
Dalam sejarahnya, kemunculan kelompok-kelompok ini dipicu oleh masalah politik tentang siapakah yang berhak menjadi pemimpin umat Islam (khalifah) setelah kewafatan Rasulullah, Muhammad SAW. Setelah perdebatan antara kelompok sahabat Muhajirin dan Anshor dituntaskan dengan kesepakatan memilih Abu Bakar sebagai khalifah pertama, kesatuan pemahaman keagamaan umat Islam bisa dijaga. Namun menyusul huru-hara politik yang mengakibatkan wafatnya khalifah ketiga, Utsman Bin Affan, yang disusul dengan perang antara pengikut Ali dan Muawiyah, umat Islam terpecah menjadi kelompok-kelompok Syiah, Khawarij, Ahlussunnah dan –disusul belakangan, terutama ketika perdebatan menjadi semakin teologis oleh—Mu’tazilah dan lain-lain.
Aswaja
melihat bahwa pemimpin tertinggi umat Islam ditentukan secara musyawarah, bukan
turun-temurun pada keturuan Rasulullah SAW sebagaimana pandangan Syiah. Aswaja
memandang keseimbangan fungsi nalar dan wahyu, tidak memposisikan wahyu di atas
nalar sebagaimana pandangan Mu’tazilah. Aswaja melihat manusia memiliki
kekuasaan terbatas (kasb) dalam menentukan perbuatan-perbuatannya, bukan
semata disetir oleh kekuatan absolut di luar dirinya (sebagaimana pandangan
Jabariyah) atau bebas absolut menentukan perbuatannya (sebagaimana pandangan
Qadariyah dan Mu’tazilah).
Pada wilayah
penggalian hukum fiqh, Aswaja (sebagaimana diwakili oleh Imam yang empat:
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) bersepakat menggunakan empat sumber hukum:
Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas; dan tidak bersepakatan dalam menggunakan
sumber-sumber yang lain semisal: istihsan, maslahah mursalah, amal ahl al
madinah dan lain-lain.
Setelah
melalui evolusi sejarah panjang, Aswaja sekarang ini menjadi mayoritas umat
Islam yang tersebar mulai dari Jakarta (Indonesia) hingga Casablanca (Maroko),
disusul oleh Syi’ah di Iran, Bahrain, Lebanon Selatan; dan sedikit Zaidiyah
(pecahan Mu’tazilah) di sejumlah tempat di Yaman. Dengan mengacu pada ajaran
Muhammad Bin Abdulwahhab, rezim Saudi Arabia berafiliasi kepada apa yang
disebut Wahabi. Sementara di Asia Selatan (Afganistan dan sekitarnya)
reinkarnasi Khawarij menemukan tanah pijaknya dengan sikap-sikap keras dalam
mempertahankan dan menyebarkan keyakinan.
Di
Indonesia, Aswaja kurang lebih sama dengan nahdliyin (sebutan untuk jamaah
Nahdlatul Ulama), meskipun jamaah Muhammadiyah adalah juga Aswaja dengan
sedikit perbedaan pada praktik hukum-hukum fiqh. Artinya, arus besar umat Islam
di Indonesia adalah Aswaja.
yang paling
penting ditekankan dalam internalisasi ajaran Aswaja di Indonesia adalah sikap
keberagamaan yang toleran (tasamuh), seimbang (tawazun), moderat
(tawassuth) dan konsisten pada sikap adil (i’tidal). Ciri khas
sikap beragama macam inilah yang menjadi kekayaan arus besar umat Islam
Indonesia yang menjamin kesinambungan hidup Indonesia sebagai bangsa yang
plural dengan agama, suku dan kebudayaan yang berbeda-beda.
Ada dua
kekuatan besar yang menjadi tantangan Aswaja di Indonesia sekarang ini dan di
masa depan: kekuatan liberal di satu pihak dan kekuatan Islam politik garis
keras di pihak yang lain. Kekuatan liberal lahir dari sejarah panjang
pemberontakan masyarakat Eropa (dan kemudian pindah Amerika) terhadap
lembaga-lembaga agama sejak masa pencerahan (renaissance) yang dimulai pada
abad ke-16 masehi; satu pemberontakan yang melahirkan bangunan filsafat
pemikiran yang bermusuhan dengan ajaran (dan terutama lembaga) agama; satu
bangunan pemikiran yang melahirkan modernitas; satu struktur masyarakat kapital
yang dengan globalisasi menjadi seolah banjir bandang yang siap menyapu masyarakat
di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia.
Sebagai
reaksinya, sejak era perang dingin berakhir dengan keruntuhan Uni Soviet, Islam
diposisikan sebagai “musuh” terutama oleh kekuatan superpower: Amerika Serikat
dan sekutunya. Tentu saja bukan umat Islam secara umum, namun sekelompok kecil
umat Islam yang menganut garis keras dan secara membabi-buta memusuhi non
muslim. Peristiwa penyerangan gedung kembar pusat perdagangan di New York,
Amerika, 11 September 2001, menjadikan dua kekuatan ini behadap-hadapan secara
keras. Akibatnya, apa yang disebut ‘perang terhadap terorisme’ dilancarkan
Amerika dan sekutunya dimana-mana di muka bumi ini.
Yang patut
digaris bawahi: dua kekuatan ini, yang liberal dan yang Islam politik garis
keras, bersifat transnasional, lintas negara. Kedua-duanya menjadi ancaman
serius bagi kesinambungan praktik keagamaan Aswaja di Indonesia yang moderat,
toleran, seimbang dan adil itu.
Gempuran
kekuatan liberal menghantam sendi-sendi pertahanan nilai yang ditanamkan Aswaja
selama berabad-abad dari aspeknya yang sapu bersih dan meniscayakan nilai-nilai
kebebasan dalam hal apapun dengan manusia (perangkat nalarnya) sebagai pusat,
dengan tanpa perlu bimbingan wahyu. Gempuran Islam politik garis keras
menghilangkan watak dasar Islam (Aswaja lebih khusus lagi) yang ramah dan
menyebar rahmat bagi seluruh alam semesta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar