سم الله الرحمن الرحيم
Tuduhan kaum Musyabbihah; kaum yang sama sekali tidak memfungsikan akal dalam agama, terhadap Ahlussunnah sebagai ’Aqlaniyyun (kaum yang hanya mengutamakan akal) atau sebagai kaum Mu’tazilah atau Afrakh al-Mu’tazilah (anak/ bibitan kaum Mu’tazilah) dengan alasan karena lebih mengedepankan akal, adalah tuduhan yang salah alamat. Ini tidak ubahnya seperti seperti kata pepatah arab “Qabihul Kalam Silahulliam” (kata-kata yang jelek adalah senjata para pengecut). Secara singkat namun komprehensif, kita ketengahkan bahasan tentang Ahlissunnah sebagai al-Firqah an-Najiyah (golongan yang selamat), asal-usulnya, dasar-dasar ajaran dan sistematikanya.
Sejarah mencatat bahwa di kalangan umat Islam dari mulai abad-abad permulaan (mulai dari masa khalifah sayyidina Ali ibn Abi Thalib) sampai sekarang terdapat banyak firqah (golongan) dalam masalah aqidah yang faham satu dengan lainnya sangat berbeda bahkan saling bertentangan. Ini fakta yang tak dapat dibantah. Bahkan dengan tegas dan gamblang Rasulullah telah menjelaskan bahwa umatnya akan pecah menjadi 73 golongan. Semua ini tentunya dengan kehendak Allah dengan berbagai hikmah tersendiri, walaupun tidak kita ketahui secara pasti. Dia-lah yang Maha Mengetahui segala sesuatu.
Namun Rasulullah juga telah menjelaskan jalan selamat yang harus kita tempuh agar tidak terjerumus dalam kesesatan. Yaitu dengan mengikuti apa yang diyakini oleh al-Jama’ah; mayoritas umat Islam. Karena Allah telah menjanjikan kepada Rasul-Nya, Muhammad , bahwa umatnya tidak akan tersesat selama mereka berpegang teguh kepada apa yang disepakati oleh kebanyakan mereka. Allah tidak akan menyatukan mereka dalam kesesatan. Kesesatan akan menimpa mereka yang menyempal dan memisahkan diri dari keyakinan mayoritas. Mayoritas umat Muhammad dari dulu sampai sekarang adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam Ushul al-I’tiqad (dasar-dasar aqidah); yaitu Ushul al-Iman al-Sittah (dasar-dasar iman yang enam) yang disabdakan Rasulullah dalam hadits Jibril: “Iman adalah engkau mempercayai Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab- kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir serta Qadar (ketentuan Allah); yang baik maupun buruk”. (H.R. al Bukhari dan Muslim)
Perihal al-Jama’ah dan pengertiannya sebagai mayoritas umat Muhammad yang tidak lain adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah tersebut dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya : “Aku berwasiat kepada kalian untuk mengikuti sahabat-sahabatku, kemudian – mengikuti- orang-orang yang datang setelah mereka, kemudian mengikuti yang datang setelah mereka“. Dan termasuk rangkaian hadits ini: “Tetaplah bersama al-Jama’ah dan jauhi perpecahan karena syaitan akan menyertai orang yang sendiri. Dia (syaitan) dari dua orang akan lebih jauh, maka barang siapa menginginkan tempat lapang di surga hendaklah ia berpegang teguh pada (keyakinan) al-Jama’ah”. (HR. at-Turmudzi, ia berkata hadits ini Hasan Shahih juga hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim).
Al-Jama’ah dalam hadits ini tidak boleh diartikan dengan orang yang selalu menjalankan shalat dengan berjama’ah, jama'ah masjid tertentu atau dengan arti ulama hadits, karena tidak sesuai dengan konteks pembicaraan hadits ini sendiri dan bertentangan dengan hadits-hadits lain. Konteks pembicaraan hadits ini jelas mengisyaratkan bahwa yang dimaksud al-Jama’ah adalah mayoritas umat Muhammad dari sisi kuantitas.
Selanjutnya di kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah dikenal istilah “ulama salaf”. Mereka adalah orang-orang yang terbaik dari kalangan Ahlusssunnah Wal Jama’ah yang hidup pada 3 abad pertama hijriyah sebagaimana sabda nabi: Maknanya: “Sebaik-baik abad adalah abadku kemudian abad setelah mereka kemudian abad setelah mereka.” (HR. Tirmidzi)
Pada masa ulama salaf ini, di sekitar tahun 260 H, mulai menyebar bid’ah Mu’tazilah, Khawarij, Musyabbihah dan lainnya dari kelompok-kelompok yang membuat faham baru. Kemudian dua imam agung; Abu al-Hasan al-Asy’ari (W. 324H) dan Abu Manshur al-Maturidi (W. 333 H) –semoga Allah merahmati keduanya – datang dengan menjelaskan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diyakini para sahabat nabi dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakan dalil-dalil naqli (nash-nash al-Quran dan Hadits) dan dalil-dalil aqli (argumen rasional) disertai dengan bantahan-bantahan terhadap syubhat-syubhat (sesuatu yang dilontarkan untuk mengaburkan hal yang sebenarnya) Mu’tazilah, Musyabbihah, Khawarij tersebut di atas dan ahli bid’ah lainnya. Sehingga Ahlussunnah dinisbatkan kepada keduanya. Mereka; Ahlussunnah Wal Jamaah akhirnya dikenal dengan nama al- Asy’ariyyun (para pengikut imam Abu al-Hasan Asy’ari) dan al-Maturidiyyun (para pengikut imam Abu Manshur al-Maturidi). Hal ini tidak menafikan bahwa mereka adalah satu golongan yaitu al-Jama’ah. Karena sebenarnya jalan yang ditempuh oleh al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam pokok aqidah adalah sama dan satu.
Adapun perbedaan yang terjadi di antara keduanya hanya pada sebagian masalah-masalah furu’ (cabang) aqidah. Hal tersebut tidak menjadikan keduanya saling menghujat atau saling menyesatkan, serta tidak menjadikan keduanya lepas dari ikatan golongan yang selamat (al-Firqah al-Najiyah).
Perbedaan antara al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah ini adalah seperti halnya perselisihan yang terjadi antara para sahabat nabi, perihal apakah Rasulullah melihat Allah pada saat Mi’raj ? Sebagian sahabat, seperti ‘Aisyah dan Ibn Mas’ud mengatakan bahwa Rasulullah SAW tidak melihat Tuhannya pada waktu Mi’raj. Sedangkan Abdullah ibn 'Abbas mengatakan bahwa Rasulullah melihat Allah dengan hatinya. Allah memberi kemampuan melihat kepada hati Nabi Muhammad SAW sehingga dapat melihat Allah.
Namun demikian al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah ini tetap sepaham dan sehaluan dalam dasar-dasar aqidah. Al-Hafizh Murtadla az-Zabidi (W. 1205 H) mengatakan: “Jika dikatakan Ahlussunnah wal Jama’ah, maka yang dimaksud adalah al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah “. (al-Ithaf, juz 2 hlm 6)
Jadi aqidah yang benar dan diyakini oleh para ulama salaf yang shalih adalah aqidah yang diyakini oleh al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah. Karena sebenarnya keduanya hanyalah meringkas dan menjelaskan aqidah yang diyakini oleh para nabi dan rasul serta para sahabat. Aqidah Ahlusssunnah adalah aqidah yang diyakini oleh ratusan juta umat Islam, mereka adalah para pengikut madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi, serta orang-orang yang utama dari madzhab Hanbali (Fudhala’ al-Hanabilah). Aqidah ini diajarkan di pesantren-pesantren Ahlussunnah di negara kita, Indonesia.
As-Subki dalam Thabaqatnya berkata: "Ketahuilah bahwa Abu al-Hasan al-Asy'ari tidak membawa ajaran baru atau madzhab baru, beliau hanya menegaskan kembali madzhab salaf, menghidupkan ajaran-ajaran sahabat Rasulullah. Penisbatan nama kepadanya karena beliau konsisten dalam berpegang teguh ajaran salaf, hujjah (argumentasi) yang beliau pakai sebagai landasan kebenaran aqidahnya juga tidak keluar dari apa yang menjadi hujjah para pendahulunya, karenanya para pengikutnya kemudian disebut Asy'ariyyah. Abu al-Hasan al-Asy'ari bukanlah ulama yang pertama kali berbicara tentang Ahlussunnah wal Jama'ah, ulama-ulama sebelumya juga banyak berbicara tentang Ahlussunnah wal Jama'ah.
Habib Abdullah ibn Alawi al-Haddad menegaskan bahwa "kelompok yang benar adalah kelompok Asy'ariyah yang dinisbatkan kepada Imam Asy'ari. Aqidahnya juga aqidah para sahabat dan tabi'in, aqidah ahlul haqq dalam setiap masa dan tempat, aqidahnya juga menjadi aqidah kaum sufi sejati. Hal ini sebagaimana diceritakan oleh Imam Abul Qasim al-Qusyayri. Dan alhamdulillah aqidahnya juga menjadi aqidah kami dan saudara-saudara kami dari kalangan habaib yang dikenal dengan keluarga Abu Alawi, juga aqidah para pendahulu kita Ibnu 'Abidin al Hanafi mengatakan dalam Hasyiyah Radd al Muhtar 'ala ad-Durr al Mukhtar : "Ahlussunnah Wal Jama'ah adalah al Asya'irah dan al Maturidiyyah."
Dalam kitab 'Uqud al Almas al Habib Abdullah Alaydrus al Akbar mengatakan : "Aqidahku adalah aqidah Asy'ariyyah Hasyimiyyah Syar'iyyah sebagaimana aqidah para ulama madzhab syafi'i dan Kaum Ahlussunnah." Bahkan jauh sebelum mereka ini Al Imam al 'Izz ibn Abd as-Salam mengemukakan bahwa aqidah al Asy'ariyyah disepakati oleh kalangan pengikut madzhab Syafi'i, madzhab Maliki, madzhab Hanafi dan orang-orang utama dari madzhab Hanbali (Fudlala al Hanabilah). Apa yang dikemukakan oleh al 'Izz ibn Abd as-Salam ini disetujui oleh para ulama di masanya, seperti Abu 'Amr Ibn al Hajib (pimpinan ulama Madzhab Maliki di masanya), Jamaluddin al Hushayri pimpinan ulama Madzhab Hanafi di masanya, juga disetujui oleh al Imam at-Taqiyy as-Subki sebagaimana dinukil oleh putranya Tajuddin as-Subki. Wallahu'alam.
تَفْتَرِقُ الْيَهُوْدُ عَلىَ إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً أَوِ
اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَالنَّصَارَى مِثْلُ ذَلِكَ،
وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً.
“…Dan sesungguhnya ummat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 diantaranya di neraka dan hanya satu
yang di surga yaitu al-Jama’ah.” (HR.
Abu Dawud)
Akal adalah syahid (saksi dan bukti)
akan kebenaran syara’. Inilah sebenarnya yang dilakukan oleh ulama
tauhid atau ulama al-kalam (teologi). Yang mereka lakukan adalah taufiq
(pemaduan) antara kebenaran syara’ dengan kebenaran akal, mengikuti
jejak nabi Ibrahim -seperti dikisahkan al-Quran- ketika membantah
raja Namrud dan kaumnya, di mana beliau menundukkan mereka dengan dalil
akal. Fungsi akal dalam agama adalah sebagai saksi bagi kebenaran syara’
bukan
sebagai peletak dasar bagi
agama itu sendiri. Berbeda dengan para filosof yang berbicara tentang
Allah, malaikat dan banyak hal
lainnya yang hanya berdasarkan penalaran akal
semata. Mereka menjadikan akal sebagai dasar agama tanpa memandang
ajaran yang dibawa para nabi.
Tuduhan kaum Musyabbihah; kaum yang sama sekali tidak memfungsikan akal dalam agama, terhadap Ahlussunnah sebagai ’Aqlaniyyun (kaum yang hanya mengutamakan akal) atau sebagai kaum Mu’tazilah atau Afrakh al-Mu’tazilah (anak/ bibitan kaum Mu’tazilah) dengan alasan karena lebih mengedepankan akal, adalah tuduhan yang salah alamat. Ini tidak ubahnya seperti seperti kata pepatah arab “Qabihul Kalam Silahulliam” (kata-kata yang jelek adalah senjata para pengecut). Secara singkat namun komprehensif, kita ketengahkan bahasan tentang Ahlissunnah sebagai al-Firqah an-Najiyah (golongan yang selamat), asal-usulnya, dasar-dasar ajaran dan sistematikanya.
PEMBAHASAN
Sejarah mencatat bahwa di kalangan umat Islam dari mulai abad-abad permulaan (mulai dari masa khalifah sayyidina Ali ibn Abi Thalib) sampai sekarang terdapat banyak firqah (golongan) dalam masalah aqidah yang faham satu dengan lainnya sangat berbeda bahkan saling bertentangan. Ini fakta yang tak dapat dibantah. Bahkan dengan tegas dan gamblang Rasulullah telah menjelaskan bahwa umatnya akan pecah menjadi 73 golongan. Semua ini tentunya dengan kehendak Allah dengan berbagai hikmah tersendiri, walaupun tidak kita ketahui secara pasti. Dia-lah yang Maha Mengetahui segala sesuatu.
Namun Rasulullah juga telah menjelaskan jalan selamat yang harus kita tempuh agar tidak terjerumus dalam kesesatan. Yaitu dengan mengikuti apa yang diyakini oleh al-Jama’ah; mayoritas umat Islam. Karena Allah telah menjanjikan kepada Rasul-Nya, Muhammad , bahwa umatnya tidak akan tersesat selama mereka berpegang teguh kepada apa yang disepakati oleh kebanyakan mereka. Allah tidak akan menyatukan mereka dalam kesesatan. Kesesatan akan menimpa mereka yang menyempal dan memisahkan diri dari keyakinan mayoritas. Mayoritas umat Muhammad dari dulu sampai sekarang adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam Ushul al-I’tiqad (dasar-dasar aqidah); yaitu Ushul al-Iman al-Sittah (dasar-dasar iman yang enam) yang disabdakan Rasulullah dalam hadits Jibril: “Iman adalah engkau mempercayai Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab- kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir serta Qadar (ketentuan Allah); yang baik maupun buruk”. (H.R. al Bukhari dan Muslim)
Perihal al-Jama’ah dan pengertiannya sebagai mayoritas umat Muhammad yang tidak lain adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah tersebut dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya : “Aku berwasiat kepada kalian untuk mengikuti sahabat-sahabatku, kemudian – mengikuti- orang-orang yang datang setelah mereka, kemudian mengikuti yang datang setelah mereka“. Dan termasuk rangkaian hadits ini: “Tetaplah bersama al-Jama’ah dan jauhi perpecahan karena syaitan akan menyertai orang yang sendiri. Dia (syaitan) dari dua orang akan lebih jauh, maka barang siapa menginginkan tempat lapang di surga hendaklah ia berpegang teguh pada (keyakinan) al-Jama’ah”. (HR. at-Turmudzi, ia berkata hadits ini Hasan Shahih juga hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim).
Al-Jama’ah dalam hadits ini tidak boleh diartikan dengan orang yang selalu menjalankan shalat dengan berjama’ah, jama'ah masjid tertentu atau dengan arti ulama hadits, karena tidak sesuai dengan konteks pembicaraan hadits ini sendiri dan bertentangan dengan hadits-hadits lain. Konteks pembicaraan hadits ini jelas mengisyaratkan bahwa yang dimaksud al-Jama’ah adalah mayoritas umat Muhammad dari sisi kuantitas.
Penafsiran ini diperkuat juga oleh
hadits yang kita tulis di awal pembahasan. Yaitu hadits riwayat Abu
Dawud yang merupakan hadits Shahih Masyhur, diriwayatkan oleh lebih dari
10 orang sahabat. Hadits ini memberi kesaksian
akan kebenaran mayoritas umat Muhammad bukan kebenaran firqah-firqah
yang menyempal. Jumlah pengikut firqah-firqah yang menyempal ini,
dibanding pengikut Ahlussunnah Wal Jama’ah sangatlah sedikit.
Selanjutnya di kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah dikenal istilah “ulama salaf”. Mereka adalah orang-orang yang terbaik dari kalangan Ahlusssunnah Wal Jama’ah yang hidup pada 3 abad pertama hijriyah sebagaimana sabda nabi: Maknanya: “Sebaik-baik abad adalah abadku kemudian abad setelah mereka kemudian abad setelah mereka.” (HR. Tirmidzi)
Pada masa ulama salaf ini, di sekitar tahun 260 H, mulai menyebar bid’ah Mu’tazilah, Khawarij, Musyabbihah dan lainnya dari kelompok-kelompok yang membuat faham baru. Kemudian dua imam agung; Abu al-Hasan al-Asy’ari (W. 324H) dan Abu Manshur al-Maturidi (W. 333 H) –semoga Allah merahmati keduanya – datang dengan menjelaskan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diyakini para sahabat nabi dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakan dalil-dalil naqli (nash-nash al-Quran dan Hadits) dan dalil-dalil aqli (argumen rasional) disertai dengan bantahan-bantahan terhadap syubhat-syubhat (sesuatu yang dilontarkan untuk mengaburkan hal yang sebenarnya) Mu’tazilah, Musyabbihah, Khawarij tersebut di atas dan ahli bid’ah lainnya. Sehingga Ahlussunnah dinisbatkan kepada keduanya. Mereka; Ahlussunnah Wal Jamaah akhirnya dikenal dengan nama al- Asy’ariyyun (para pengikut imam Abu al-Hasan Asy’ari) dan al-Maturidiyyun (para pengikut imam Abu Manshur al-Maturidi). Hal ini tidak menafikan bahwa mereka adalah satu golongan yaitu al-Jama’ah. Karena sebenarnya jalan yang ditempuh oleh al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam pokok aqidah adalah sama dan satu.
Adapun perbedaan yang terjadi di antara keduanya hanya pada sebagian masalah-masalah furu’ (cabang) aqidah. Hal tersebut tidak menjadikan keduanya saling menghujat atau saling menyesatkan, serta tidak menjadikan keduanya lepas dari ikatan golongan yang selamat (al-Firqah al-Najiyah).
Perbedaan antara al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah ini adalah seperti halnya perselisihan yang terjadi antara para sahabat nabi, perihal apakah Rasulullah melihat Allah pada saat Mi’raj ? Sebagian sahabat, seperti ‘Aisyah dan Ibn Mas’ud mengatakan bahwa Rasulullah SAW tidak melihat Tuhannya pada waktu Mi’raj. Sedangkan Abdullah ibn 'Abbas mengatakan bahwa Rasulullah melihat Allah dengan hatinya. Allah memberi kemampuan melihat kepada hati Nabi Muhammad SAW sehingga dapat melihat Allah.
Namun demikian al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah ini tetap sepaham dan sehaluan dalam dasar-dasar aqidah. Al-Hafizh Murtadla az-Zabidi (W. 1205 H) mengatakan: “Jika dikatakan Ahlussunnah wal Jama’ah, maka yang dimaksud adalah al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah “. (al-Ithaf, juz 2 hlm 6)
Jadi aqidah yang benar dan diyakini oleh para ulama salaf yang shalih adalah aqidah yang diyakini oleh al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah. Karena sebenarnya keduanya hanyalah meringkas dan menjelaskan aqidah yang diyakini oleh para nabi dan rasul serta para sahabat. Aqidah Ahlusssunnah adalah aqidah yang diyakini oleh ratusan juta umat Islam, mereka adalah para pengikut madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi, serta orang-orang yang utama dari madzhab Hanbali (Fudhala’ al-Hanabilah). Aqidah ini diajarkan di pesantren-pesantren Ahlussunnah di negara kita, Indonesia.
Dan
al-Hamdulillah, aqidah ini juga diyakini oleh ratusan juta kaum muslimin
di seluruh dunia seperti
Indonesia, Malaysia, Brunei, India, Pakistan, Mesir (terutama al-Azhar),
negara-negara Syam (Syiria, Yordania, Lebanon dan Palestina), Maroko, Yaman,
Irak, Turki, Daghistan, Checnya, Afghanistan dan masih banyak lagi di negara-negara lainnya.
Maka
wajib bagi kita untuk senantiasa penuh perhatian dan keseriusan dalam mendalami aqidah al- Firqah
al-Najiyah yang merupakan aqidah golongan mayoritas.
Karena
ilmu aqidah adalah ilmu yang paling mulia, sebab ia menjelaskan pokok atau dasar agama. Abu Hanifah menamakan
ilmu ini dengan al-Fiqh al-Akbar.
Karenanya,
mempelajari ilmu ini harus lebih didahulukan dari mempelajari ilmu ilmu rabbaniyyun dari kalangan salaf maupun khalaf dalam
mempelajari agama ini. Tradisi semacam ini sudah
ada dari masa Rasulullah SAW, sebagaimana dikatakan sahabat Ibn 'Umar dan sahabat Jundub: lainnya.
Setelah cukup mempelajari ilmu ini baru disusul dengan ilmu-ilmu yang lain. Inilah metode yang diikuti
para sahabat nabi dan ulama
“Kami -selagi remaja saat mendekati baligh-
bersama Rasulullah mempelajari iman
(tauhid) dan belum mepelajari al-Qur’an. Kemudian kami mempelajari al-Qur’an,
maka bertambahlah keimanan
kami". (HR.
Ibnu Majah dan dishahihkan oleh al-Hafidz al-Bushiri).
Ilmu
aqidah juga disebut dengan ilmu kalam. Hal tersebut dikarenakan banyaknya golongan yang mengatas
namakan Islam justru menentang aqidah Islam yang
benar dan banyaknya kalam (adu argumentasi) dari setiap golongan untuk membela aqidah mereka yang sesat.
Tidak
semua ilmu kalam itu tercela, sebagaimana dikatakan oleh golongan Musyabbihah (kelompok yang menyerupakan Allah
dengan makhluk-Nya). Akan tetapi
ilmu kalam terbagi menjadi dua bagian: ilmu kalam yang terpuji dan ilmu kalam yang tercela. Ilmu kalam yang
kedua inilah yang menyalahi aqidah Islam karena
sengaja dikarang dan ditekuni oleh golongan-golongan yang sesat seperti Mu’tazilah,
Musyabbihah (golongan
yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, sepeti
kaum Wahabiyyah) dan ahli bid’ah lainnya. Adapun ilmu kalam yang terpuji ialah ilmu kalam yang dipelajari oleh
Ahlussunah untuk membantah golongan yang sesat.
Dikatakan terpuji karena pada hakekatnya ilmu
kalam Ahlussunnah adalah taqrir
dan penyajian
prinsip-prinsip aqidah dalam formatnya yang sistematis dan argumentatif; dilengkapi dengan
dalil-dalil naqli dan aqli. Dasar-dasar
ilmu kalam ini telah ada di kalangan para sahabat. Di antaranya,
sahabat
'Ali ibn Abi Thalib dengan argumentasinya yang kuat dapat mengalahkangolongan
Khawarij, Mu’tazilah juga dapat membantah empat puluh orang yahudi yang meyakini bahwa
Allah adalah jism (benda). Demikian pula sahabat 'Abdullah ibn
Abbas, al-Hasan ibn 'Ali ibn Abi Thalib dan 'Abdullah ibn Umar juga membantah kaum Mu’tazilah. Sementara
dari kalangan tabi’in; imam al-Hasan al- Bashri,
imam al-Hasan ibn Muhamad ibn al-Hanafiyyah; cucu sayyidina Ali ibn Abi Thalib dan khalifah Umar ibn Abdul Aziz
juga pernah membantah kaum Mu’tazilah. Kemudian
juga para imam dari empat madzhab; imam Syafi’i, imam Malik, imam Abu Hanifah, dan imam Ahmad juga
menekuni dan menguasai ilmu kalam ini.
Sebagaimana
dituturkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi (W 429 H) dalam kitab
Ushul ad-Din, al-Hafizh Abu al-Qasim ibn ‘Asakir (W 571 H) dalam kitabTabyin
Kadzib al Muftari, al-Imam az-Zarkasyi (W 794 H) dalam kitab Tasynif al- Masami’
dan
al 'Allamah al Bayyadli (W 1098 H) dalam kitab Isyarat al-Maram dan lain-lain. Allah
berfirman:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ
إِلا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
“Maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah dan mohonlah
ampun atas dosamu".
(QS Muhammad :19)
Ayat
ini dengan sangat jelas mengisyaratkan keutamaan ilmu ushul atau tauhid. Yaitu dengan menyebut kalimah tauhid (la
ilaha illallah) lebih dahulu dari pada perintah
untuk beristighfar yang merupakan furu’ (cabang) agama. Ketika Rasulullah r ditanya tentang
sebaik-baiknya perbuatan, beliau menjawab: “Iman
kepada Allah dan rasul-Nya”. (HR. Bukhari)
Bahkan
dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengkhususkan dirinya sebagai orang yang paling mengerti dan faham ilmu
tauhid, beliau bersabda: “Akulah
yang paling mengerti
di antara kalian tentang Allah dan paling takut kepada-Nya.” (HR. Bukhari)
Karena
itu, sangat banyak ulama yang menulis kitab-kitab khusus mengenai penjelasan aqidah Ahlussunnah Wal
Jama’ah ini. Seperti Risalah al-'Aqidah ath- Thahawiyyah karya al-Imam as-Salafi Abu
Ja’far ath-Thahawi (W 321 H), kitab al ‘Aqidah an-Nasafiyyah karangan al Imam ‘Umar an-Nasafi (W 537 H), al-‘Aqidah al
Mursyidah karangan al-Imam Fakhr ad-Din ibn ‘Asakir (W 630 H), al
'Aqidah ash- Shalahiyyah
yang ditulis oleh
al-Imam Muhammad ibn Hibatillah al-Makki (W 599 H);
beliau menamakannya Hadaiq al-Fushul wa Jawahir al Uqul, kemudian menghadiahkan karyanya ini kepada
sultan Shalahuddin al-Ayyubi (W 589 H).
Tentang risalah aqidah yang terakhir
disebutkan, sultan Shalahuddin sangat tertarik dengannya
hingga beliau memerintahkan untuk diajarkan sampai kepada anakanak kecil di madrasah-madrasah, yang
akhirnya risalah aqidah tersebut dikenal dengan
nama al 'Aqidah ash-Shalahiyyah. Sulthan
Shalahuddin adalah seorang ‘alim yang bermadzhab Syafi’i, mempunyai perhatian khusus dalam
menyebarkan al 'Aqidah as-Sunniyyah. Beliau memerintahkan
para muadzdzin untuk mengumandangkan al
'Aqidah as-Sunniyyah di
waktu tasbih (sebelum adzan shubuh) pada setiap malam di
Mesir, seluruh negara Syam
(Syiria, Yordania, Palestina dan Lebanon), Mekkah, Madinah, dan Yaman sebagaimana dikemukakan oleh al
Hafizh as-Suyuthi (W 911 H) dalam al Wasa-il
ila Musamarah
al Awa-il dan lainnya. Sebagaimana banyak terdapat
buku-buku yang telah
dikarang dalam menjelaskan al 'Aqidah as-Sunniyyah dan
senantiasa penulisan itu
terus berlangsung. Kita
memohon kepada Allah semoga kita meninggal dunia dengan membawa aqidah Ahlissunah Wal Jamaah yang merupakan
aqidah para nabi dan rasul Allah. Amin.
KOMENTAR PARA ULAMA TENTANG AQIDAH
ASY'ARIYYAH; AQIDAH
AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH
AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH
As-Subki dalam Thabaqatnya berkata: "Ketahuilah bahwa Abu al-Hasan al-Asy'ari tidak membawa ajaran baru atau madzhab baru, beliau hanya menegaskan kembali madzhab salaf, menghidupkan ajaran-ajaran sahabat Rasulullah. Penisbatan nama kepadanya karena beliau konsisten dalam berpegang teguh ajaran salaf, hujjah (argumentasi) yang beliau pakai sebagai landasan kebenaran aqidahnya juga tidak keluar dari apa yang menjadi hujjah para pendahulunya, karenanya para pengikutnya kemudian disebut Asy'ariyyah. Abu al-Hasan al-Asy'ari bukanlah ulama yang pertama kali berbicara tentang Ahlussunnah wal Jama'ah, ulama-ulama sebelumya juga banyak berbicara tentang Ahlussunnah wal Jama'ah.
Beliau
hanya lebih memperkuat
ajaran salaf itu dengan argumen-argumen yang kuat. Bukankah penduduk
kota Madinah banyak dinisbatkan kepada Imam Malik, dan pengikutnyadisebut al
Maliki. Ini bukan berarti Imam Malik membawa ajaran baru yang sama sekali tidak ada pada para ulama
sebelumnya, melainkan karena Imam Malikmenjelaskan ajaran-ajaran lama dengan
penjelasan yang lebih rinci dan sistematis..Demikian juga yang dilakukan oleh Abu
al-Hasan al-Asy'ari."
Habib Abdullah ibn Alawi al-Haddad menegaskan bahwa "kelompok yang benar adalah kelompok Asy'ariyah yang dinisbatkan kepada Imam Asy'ari. Aqidahnya juga aqidah para sahabat dan tabi'in, aqidah ahlul haqq dalam setiap masa dan tempat, aqidahnya juga menjadi aqidah kaum sufi sejati. Hal ini sebagaimana diceritakan oleh Imam Abul Qasim al-Qusyayri. Dan alhamdulillah aqidahnya juga menjadi aqidah kami dan saudara-saudara kami dari kalangan habaib yang dikenal dengan keluarga Abu Alawi, juga aqidah para pendahulu kita Ibnu 'Abidin al Hanafi mengatakan dalam Hasyiyah Radd al Muhtar 'ala ad-Durr al Mukhtar : "Ahlussunnah Wal Jama'ah adalah al Asya'irah dan al Maturidiyyah."
Dalam kitab 'Uqud al Almas al Habib Abdullah Alaydrus al Akbar mengatakan : "Aqidahku adalah aqidah Asy'ariyyah Hasyimiyyah Syar'iyyah sebagaimana aqidah para ulama madzhab syafi'i dan Kaum Ahlussunnah." Bahkan jauh sebelum mereka ini Al Imam al 'Izz ibn Abd as-Salam mengemukakan bahwa aqidah al Asy'ariyyah disepakati oleh kalangan pengikut madzhab Syafi'i, madzhab Maliki, madzhab Hanafi dan orang-orang utama dari madzhab Hanbali (Fudlala al Hanabilah). Apa yang dikemukakan oleh al 'Izz ibn Abd as-Salam ini disetujui oleh para ulama di masanya, seperti Abu 'Amr Ibn al Hajib (pimpinan ulama Madzhab Maliki di masanya), Jamaluddin al Hushayri pimpinan ulama Madzhab Hanafi di masanya, juga disetujui oleh al Imam at-Taqiyy as-Subki sebagaimana dinukil oleh putranya Tajuddin as-Subki. Wallahu'alam.
Sumber : Al-Bayan ( http://ad-dai.blogspot.com )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar