Pengantar
Selama ini yang
kita ketahui tentang Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah madzhab yang dalam aqidah
mengikuti salah satu dari Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur
Al-Maturidi, dalam ubudiyah (praktek peribadatan) mengikuti salah satu imam
empat yaitu Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad Asy-Syafi’i dan Ahmad bin
Hambal dan dalam bertasawuf mengikuti salah satu dua imam yaitu Abu Qosyim
Al-Junaidi Al-Baghdadi dan Abu Hamid Muhammad Al-Ghozali. Hal ini sebagaimana
yang ditulis oleh Hadrathus Syekh KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri Ponpes Tebu
Ireng, Jombang Jawa Timur) dalam qanun asasi dan di setiap muktamar NU
senantiasa disampaikan oleh Rois Am sebagai sambutan pokok (Said Agiel Siradj,
Mengebumikan Aswaja sebagai Manhaj Fikr dalam memahami Agama Islam).
Dalam
doktrrin Nu, biasanya Aswaja dipahami dengan bertauhid mengikuti Imam
Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, berfiqih dengan faham empat Imam Madzhab atau
bertasawuf sesuai dengan Imam Junaidi dan Al-Ghozali. Lebih lanjut lagi Said
Agiel Siradj memberikan definisi bahwa Aswaja adalah orang-orang yang memiliki
metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan
atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleran. ( Said Agiel Siradj,
Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta : LKPSM, 1997),
hal. 20). Makna tersebut memuat arti adanya Tawazun, Ta’adul, dan Tasamuh.
Hal-hal inilah yang biasanya berada dalam tataran konseptual.
Di Indonesia
jika berbicara mengenai Aswaja (Ahlussunnah Wal-Jama’ah) hampir selalu kepada
NU (Nahdlatul ‘Ulama). Dalam waktu bersamaan NU selalu dimasukkan ke dalam
tradisionalis, namun di sisi lain modernitas telah lama menjadi wacana dalam
kehidupan sehari-hari. Bahkan kini lebih cepat satu langkah yakni dengan
munculnya istilah postmodern (A. Qodri Azizy, Peluang dan tantangan Aswaja
dalam prilaku manusia modern, Makalah seminar pergumulan Aswaja dengan masalah
kebudayaan, Semarang 28 Agustus 1999).
sejumlah Manhaj
pemikiran ke Islaman lain yang cenderung mengklaim dirinya sebagai ideologi
alternatif yang sparatis bahkan radikal.
Aswaja sebagai
Manhajul Fikr tentunya memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan misi
Islam sebgai agama Rahmatan Lil ‘Alamin. Untuk menunjukkan hal
tersebut Aswaja dijadikan sebagai landasan utama dalam beraktifitas
sehari-hari, terutama dalam dunia intelektual dan kehidupan sosial. Setidaknya
ada 2 (dua) tugas mulia Aswaja, yaitu :
a.
Aswaja sebagai pola fikir dan tingkah
laku
Manhaj Al-Wasathiyah Al-Asy’ariyah
sesungguhnya merupakan pendekatan teologis yang ideal dan selalu up tu date.
Secara filosoofi, manusia tak mampu memperoleh kebenaran mutlak tanpa
mendasarkan pemikiran kepada wahyu. Apa yang diperoleh kaum intelektual disebut
sebagai obyektif, setelah diteliti secara sesama, ternyata sangat subyektif.
Hal ini dikarenakan karakteristik pengetahuan manusia menghendaki kesesuaian
(teori korespondensi) antara persepsi dengan realitas, dan realitas itu sendiri
merupakan rekayasa akal. Maka seluruh pengetahuan manusia adalah subyektif.
Obyektifitas dapat dicapai tatkala obyek pengetahuan berbicara tentang dirinya
sendiri.
b. Aswaja
sebagai paradigma intelektual
Tiga mainstream dalam tradisi aswaja
pada dasarnya mempresentasikan tiga potensi intelektual manusia. Ketiga potensi
tersebut adalah potensi Rasional, Indrawi, dan Intuisi. Atau dapat pula
mewakili tiga model aliran pemikiran yaitu rasionalisme, empirisme, dan
spiritualisme. Aliran-aliran tersebut menunjukkan adanya penekanan bahwa
prinsip keterbukaan berfikir dan fleksibelitas berperilaku menghendaki adanya
sikap keterbukaan pula terhadap berbagai aliran pemikiran.
Dalam beberapa
dekade terakhir, wacana Intelektual Aswaja memperlihatkan suatu perkembangan
yang cukup signifikan. Seperti munculnya kritikan al-Ghozali yang dituduh
sebagai penyebab mundurnya semangat intelektual Islam, maka saat itulah muncul
wacana baru yang lazimnya disebut dengan neo Aswaja yang dimotori oleh Syekh
Musthofa Abd ar-Raziq. Kemudian disusul
muridnya Syekh Abdul Halim Mahmud yang tampil dengan semangat intelektual baru
dengan tetap mengacu pada garis pemikiran Al-Ghazali, namun penekanannya lebih
menitikberatkan pada aspek metodologis ketimbang produk pemikiran.
Aspek
metodologis inilah yang menjadi simbol kemenangan dan keunggulan Aswaja. Dengan
hal ini, diharapkan mampu mengantarkan umat manusia pada perkembangan dan
kemajuan IPTEK yang mengarahkan pada kecenderungan intelektual kepada
sciencific thingking. Seorang muslim dapat menghayati makna ke-Esaan Tuhan
dalam temuan-temuan ilmiyah di laboratorium. Misalnya uraian Dr. Musthofa
Mahmud di Mesir tentang struktur sel-sel dalam setiap makhluk hidup sangat
memukau secara aspek metodologis bila dibandingkan dengan sistem argumentasi
yang diberikan oleh tokoh sebelum masanya. Sehingga dapat pula dimaknai bahwa
adanya dikhotomi ilmu agama, sudah saatnya dihapuskan dan dipadukan secara
integrated melalui internalisasi ilmu-ilmu Islam dan aktualisasi ajaran-ajaran
tauhid dalam kehidupan di era ilmu pengetahuan dan tekhnologi. (Dr. Nursamad
Kamba, Tantangan dan peluang Aswaja dalam Prilaku Manusia Modern, Makalah
Seminar Pergumulan Aswaja dengan Masalah Kebudayaan, Semarang, 28 Agustus
1999). Semoga bermanfaat, Wallahul Muwafiq Ilaa Aqwamith Thorieq.
(Materi disampaikan pada Mapaba
II di Batu Besaung Tanggal 22 Agustus 2007 oleh Sugianto, S.Pd.I
Ketua Komisariat PMII STAIN
Samarinda periode 2003-2004 dan Sekretaris Umum Pengurus Koordinator Cabang
PMII Kalimantan Timur periode 2006-2008).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar